Rabu, 04 Januari 2017

Salah Tempat Merenung

"Hei lihat! Fajar menyambut di sudut sana!”. 
Ujar Nahla pada kembarannya saat bangun tidur.

“Hwaaaaaii.... Suaramu membangunkanku, La! Apa kamu bilang tadi?”.
Sambil mengantuk Asybah berkata seperti orang ngelindur.

"Fajar menyambut di sudut sana!”.
Tampaknya jari tangan Nahla yang menunjuk ke salah satu sudut itu tidak digubris oleh Asybah yang masih menggeliat di atas kasur.

“Apa? Fajar? Di sudut? Kamarkah? Mana? Dimana, La? Dimana?”. 
Seraya bangkit dari ranjang lalu melompat dan bertanya satu per satu ditemani langkah demi langkahnya ke sudut-sudut. Tampaknya Jaka  Sembung Naii Ojek, Gak Nyambung Jek.

“Kamu tuh Syah! (sambil mengusap wajah Asybah) Fajar ituloh matahari terbit. Nih pikirannya pasangaan mulu. Fajar masih lelap tidur tuh di kamarnya! :p ” Asybah terhentak bangun dari tidurnya. Lantas Ia langsung mengusap wajahnya agar sedikit hilang rasa kantuknya. Kenyataan menyapa setelah bangun dari mimpi yang indah bersama Fajar.

“Nahla... Kamu tahu gak......” 
Senyum gila Asybah tayangkan bersama tubuhnya yang kembali direbahkan ke ranjang.

“Ssssht.... Sssssht.... Sssssssht.....! Kita sekarang piket paaaaggi... Jadi mending kamu sekarang mandii sanaaa atau nggak kamu catet mimpi itu dan aku pergi mandi dulu (mengambil handuk di almarinya birunya).

"Huft,, kamu selalu seperti itu!”. 
Asybah berkata seperti orang yang menggerutu karena sering ditolak untuk bercerita tentang mimpinya. Asybah lalu bangun dari tidurnya kemudian mengambil selembar kertas dan sibuk mencari pulpen. Sungguh benar-benar Ia lakukan. Ia kemudian menuliskan mimpinya. Bersamaan dengan Nahla berjalan menuju kamar mandi di sudut kiri kamar mereka. Setibanya dipintu, lalu

“Kamu juga begitu. Selalu saja tidak tahu kapan kamu harus cerita panjang dan kapan kamu harus tahan ceritamu. Satu jam tuh nggak akan cukup untuk kamu cerita! (brak... pintuk ditutup oleh Nahla)”.  Ada benarnya juga sih perkataan saudarinya itu.

Blablabla.... Waktu berlalu. Wah mereka selesai mandi bersamaan waktu.; Bagaimana bisa? Ternyata Asybah numpang mandi di toilet bibinya.
“Sudah, Non?”
“Iya, Bi. Makasih ya, Bibi...”. Bibinya lalu tersenyum tanpa tanda meng’iya’kan ucapan terima kasih dari anak majikannya itu.

Seet set seet dengan gesit Nahla dan Asybah bersiap-siap di kamar. Lalu keduanya pergi ke ruang makan untuk sarapan.
“Pagi, anak-anakkuu... ^_^”. Kata-kata lembut keluar dari bibir mamanya.
“Pagi, Mama...”

Sarapan dilakukan bersama. Lalu Asybah menghampiri mpuup  si kucing kesayangannya. Diberinya makan lalu berangkatlah keduanya bersama papa menuju kampus. Selama perjalanan, barulah Asybah memberikan kertas yang tadi ditulisinya kepada Nahla. Sambilalu Ia ceritakan dan diperagakan secara sederhana. Memang, kampusnya jauh dari kediaman. Hingga waktu itu cukup untuk Asybah cerewet bercerita.

            Teeet... Teeet... Teeet.

Bel berbunyi setiba mereka di gerbang kampus. “Da Papaa...”. Sambil melambaikan tangan pada mobil papanya yang semakin menjauh. Ternyata kalimat bahwa hari ini adalah hari piketnya adalah suatu jebakan agar Asybah tidak terlena dalam bercerita. Kalau untuk bercerita dengan saudarinya, wah kuatnya minta ampun. Bahkan pun menulis. Dalam 15 menit, menulis 5 halaman dengan 29 baris tanpa berhenti pun Ia sanggup. Amazing.

Tapi, tak demikian halnya dengan berbicara pada orang selain saudarinya. Jika tidak diajak berbicara terlebih dahulu, maka suasana garing kan selalu menghiasi. Belum terlalu lama Asybah dan Nahla meletakkan tas dan bukunya di meja kampus, dosen telah datang dan langsung memberikan mata kuliah yang padat.

“Pagi semuanya. Kali ini kita akan menguraikan tentang.......... (dan seterusnya)”.
Tiiiiiiiitt  sampai jama mata kuliah saat itu selesai. Benar-benar dosen yang disciplin.  Tak membiarkan Semenitpun untuk muridnya hilang keseriusan dalam memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibirnya.

            Teeet... Teeet... Teeet...

Bel istirahat berbunyi. Dosen meninggalkan ruangan dan satu per satu mahasiswa di kelas bergantian keluar. Asybah lalu menoleh ke samping lalu tersenyum manis nan romantis. Tak butuh beberapa lama, Ia dihampiri oleh orang yang baru saja Ia senyumi.

“Asybah habiibatyy.... J”.
Asybah lalu membalas dengan senyum lalu tetap tidak beranjak dari duduknya walau kekasih atau yang lebih tepat disebut tunangannya itu berjalan sambil menoleh pada dirinya, pertanda Ia mengajak Asybah untuk pergi belanja makanan di kantin alis beli-beli.

“Yaa sudah,, aku ke kantin sendiri lagi. Mau titip-titip?”.
Kembali perkataan itu dibalas hanya dengan senyuman pertanda tolakan yang halus. Tapi Fajar tidak setega itu. Ia tetap membelanjakan sebagian uang jajannya untuk kekasihnya makan. Epulang Fajar dari kantin, Ia duduk di kursi depan bangku Asybah. Di saat itulah kemudian Asybah mulai cerewet bercerita. Ia adalah orang keempat yang bisa Ia bercerita dengan cerewet setelah kedua orang tua dan saudarinya. Tak lama kemudian, menyusul Nahla dan ikut masuk ke dalam topik pembicaraan saudari dan tunangannya itu.

           Teeet... Teeet... Teeet

Bel masuk berbunyi. Maka pembicaraan haruslah diputus karena waktu. Tiba-tiba, setelah mendengar bel itu, Asybah seakan terjatuh dalam memori ingatan masa dimana saat itu adalah awal dari Fajar mengungkapkan rasa.

“Selamat istirahat, Asybah. Mmm apa di bangku ini kosong? (menunjuk kursi di samping kursi Asybah)

“Iya, kosong. Nahla sedang keluar bersama teman-temannya yang lain.”

“Kenapa kamu tidak ikut? Ditinggalkah? Ngomong-ngomong, apa aku boleh duduk disini?”.
Asybah tidak menjawab, tidak tersenyum, namun tertunduk mengalihkan pandangan. Fajar mengerti bahwa itu artinya Asybah menolak. Sejak saat itulah setiap kali Fajar ingin bicara dengan Asybah, Ia akan langsung duduk di depan kursi Asybah. Selepas itu, Fajar mulai berkata dengan wajah yang tulus. Seakan menyatakan cerita seperti curahan hati namun berhujung pada penawaran untuk saling mengisi hati.

“Begini, Sya. Dosenku menyarankan aku untuk mulai mencari pasangan. Bukan dalam artian pacaran, Sya. Tapi lebih dari itu. Sejalan dengan berkomitmen untuk saling menjaga hati. Agar nantinya mudah untuk menjalankan kehidupan rumah tangga.”.
Katanya dengan nada rendah sambil terus bermain pulpen di tangannya.

“Oowhmm ya kalau begitu bagus. Menurutku, pasangan itu lebih dari sekedar hubungan ataupun status. Melainkan teman hati untuk dijadikan pendamping hidup suatu saat nanti. Ini dalam pandanganku sih.”

“Iya,, kamu benar. Dari yang aku setelah aku lama memperhatikan kepribadianmu, caramu berpendapat dan caramu memberikan pandangan, aku ingin memilihmu untuk menjadi pasangan hidupku. Jika berkenan, aku ingin kita bisa saling mengisi hati. Aku menyampaikan perasaan ini, karena aku tidak ingin salah pilih. Itupun jika masih belum ada yang mengisi hatimu. Karena aku tahu, aku tak berhak untuk memaksamu menerima cintaku. Bagaimana jawabanmu, Sya?” .

Melalui cara menyampaikannya, Asybah tertegun. Apa yang dirasakannya seakan mulai menjadi nyata. Memang ini adalah hal yang ditunggu oleh Asybah. Namun, Ia sadar bahwa Ia adalah wanita yang tak mungkin untuk memulai duluan, malu alasannya jika ditanyakan.

“Waktu itu aku menerimanya”.  Asybah menutup mata sambil tersenyum lembut mengingat masa-masa itu.

“Baik, Mbak Asybah. Apa masih mengantuk?” 
Tanya Dra. Aliya selaku dosen Sastra Indonesia. Pertanyaan itu mengagetkan Asybah yang sedang melayang pikirannya mengingat masa lalu. Bel itu membuat Ia terlena untuk mengikuti mata kuliah Dra. Aliya

“Maaf, Bu. Saya menyiakan ilmu untuk pikiran pribadi dalam waktu yang tidak tepat.” 
Mendengar kata maaf yang dirangkum sedemikian elok, Bu Aliya sedikit terharu. Namun apalah arti kata itu? Tak sesuai dengan sifat keras Bu Aliya. All  hasil, tertolaklah permintaan maaf itu. Asybah harus menemui Bu Aliya di ruangnya sepulang kuliah. Ia diberi tugas dan esok juga harus sudah berada di meja Bu Aliya.

“Kamu akan saya beri sanksi. Sepulang kuliah nanti, temui saya di ruang kerja saya. Ambil satu lembar tugas dan kumpulkan besok pagi di meja saya. Jika kamu ingin mengikuti wisuda!” 
Itulah yang dikatakan Bu Aliya. Asybah meng-iya-kan perintah tersebut sambil membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat. Buka main takutnya. Nahla menggelengkan kepala mengetahui saudarinya merenung lama saat mata kuliah berlangsung.Tampaknya hal yang melambungkan memori ingatan Asybah tentang awal bersatunya ia bersama Fajar telah membuatnya mendapat satu hukuman dari dosen mata kuliah kesukaannya. Benar-benar, salah tempat merenung.

Tidak ada komentar:

Teman Bumil

Yukk Mums ikut gabung dengan Teman Bumil,,  Mums bisa pilih komunitas sesuai kebutuhan niih.. Ada komunitas Promil, Hamil, Batita/Balita, Mu...