"Hei lihat!
Fajar menyambut di sudut sana!”.
Ujar
Nahla pada kembarannya saat bangun tidur.
“Hwaaaaaii.... Suaramu
membangunkanku, La! Apa kamu bilang tadi?”.
Sambil mengantuk Asybah berkata
seperti orang ngelindur.
"Fajar
menyambut di sudut sana!”.
Tampaknya jari tangan Nahla yang menunjuk
ke salah satu sudut itu tidak digubris oleh Asybah yang masih menggeliat di
atas kasur.
“Apa?
Fajar? Di sudut? Kamarkah? Mana? Dimana, La? Dimana?”.
Seraya bangkit dari
ranjang lalu melompat dan bertanya satu per satu ditemani langkah demi
langkahnya ke sudut-sudut. Tampaknya Jaka Sembung Naii Ojek, Gak Nyambung Jek.
“Kamu tuh
Syah! (sambil mengusap wajah Asybah) Fajar ituloh matahari
terbit. Nih pikirannya pasangaan mulu. Fajar masih lelap tidur tuh di kamarnya!
:p ” Asybah terhentak bangun dari tidurnya. Lantas Ia langsung mengusap
wajahnya agar sedikit hilang rasa kantuknya. Kenyataan menyapa setelah bangun
dari mimpi yang indah bersama Fajar.
“Nahla...
Kamu tahu gak......”
Senyum gila Asybah tayangkan bersama tubuhnya yang
kembali direbahkan ke ranjang.
“Ssssht....
Sssssht.... Sssssssht.....! Kita sekarang piket paaaaggi... Jadi mending kamu
sekarang mandii sanaaa atau nggak kamu catet mimpi itu dan aku pergi mandi dulu
(mengambil handuk di almarinya birunya)” .
"Huft,,
kamu selalu seperti itu!”.
Asybah berkata seperti orang yang menggerutu
karena sering ditolak untuk bercerita tentang mimpinya. Asybah lalu bangun dari
tidurnya kemudian mengambil selembar kertas dan sibuk mencari pulpen. Sungguh
benar-benar Ia lakukan. Ia kemudian menuliskan mimpinya. Bersamaan dengan Nahla
berjalan menuju kamar mandi di sudut kiri kamar mereka. Setibanya dipintu, lalu
“Kamu juga begitu. Selalu
saja tidak tahu kapan kamu harus cerita panjang dan kapan kamu harus tahan
ceritamu. Satu jam tuh nggak akan cukup untuk kamu cerita! (brak... pintuk
ditutup oleh Nahla)”. Ada
benarnya juga sih perkataan saudarinya itu.
Blablabla....
Waktu berlalu. Wah mereka selesai mandi bersamaan waktu.; Bagaimana bisa? Ternyata
Asybah numpang mandi di toilet bibinya.
“Sudah, Non?”
“Iya, Bi. Makasih ya, Bibi...”. Bibinya
lalu tersenyum tanpa tanda meng’iya’kan ucapan terima kasih dari anak
majikannya itu.
Seet set
seet dengan gesit Nahla dan Asybah bersiap-siap di kamar. Lalu
keduanya pergi ke ruang makan untuk sarapan.
“Pagi, anak-anakkuu... ^_^”. Kata-kata
lembut keluar dari bibir mamanya.
“Pagi, Mama...”
Sarapan
dilakukan bersama. Lalu Asybah menghampiri mpuup si kucing kesayangannya. Diberinya makan lalu
berangkatlah keduanya bersama papa menuju kampus. Selama perjalanan, barulah
Asybah memberikan kertas yang tadi ditulisinya kepada Nahla. Sambilalu Ia
ceritakan dan diperagakan secara sederhana. Memang, kampusnya jauh dari
kediaman. Hingga waktu itu cukup untuk Asybah cerewet bercerita.
Teeet...
Teeet... Teeet.
Bel berbunyi setiba mereka di gerbang
kampus. “Da Papaa...”. Sambil melambaikan tangan pada mobil papanya yang
semakin menjauh. Ternyata kalimat bahwa hari ini adalah hari piketnya adalah
suatu jebakan agar Asybah tidak terlena dalam bercerita. Kalau untuk bercerita
dengan saudarinya, wah kuatnya minta ampun. Bahkan pun menulis. Dalam 15 menit,
menulis 5 halaman dengan 29 baris tanpa berhenti pun Ia sanggup. Amazing.
Tapi, tak
demikian halnya dengan berbicara pada orang selain saudarinya. Jika tidak
diajak berbicara terlebih dahulu, maka suasana garing kan selalu menghiasi.
Belum terlalu lama Asybah dan Nahla meletakkan tas dan bukunya di meja kampus,
dosen telah datang dan langsung memberikan mata kuliah yang padat.
“Pagi
semuanya. Kali ini kita akan menguraikan tentang.......... (dan seterusnya)”.
Tiiiiiiiitt sampai jama mata kuliah
saat itu selesai. Benar-benar dosen yang disciplin. Tak membiarkan Semenitpun untuk muridnya
hilang keseriusan dalam memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Teeet...
Teeet... Teeet...
Bel
istirahat berbunyi. Dosen meninggalkan ruangan dan satu per satu mahasiswa di
kelas bergantian keluar. Asybah lalu menoleh ke samping lalu tersenyum manis
nan romantis. Tak butuh beberapa lama, Ia dihampiri oleh orang yang baru saja
Ia senyumi.
“Asybah
habiibatyy.... J”.
Asybah
lalu membalas dengan senyum lalu tetap tidak beranjak dari duduknya walau
kekasih atau yang lebih tepat disebut tunangannya itu berjalan sambil menoleh
pada dirinya, pertanda Ia mengajak Asybah untuk pergi belanja makanan di kantin
alis beli-beli.
“Yaa
sudah,, aku ke kantin sendiri lagi. Mau titip-titip?”.
Kembali
perkataan itu dibalas hanya dengan senyuman pertanda tolakan yang halus. Tapi
Fajar tidak setega itu. Ia tetap membelanjakan sebagian uang jajannya untuk
kekasihnya makan. Epulang Fajar dari kantin, Ia duduk di kursi depan bangku
Asybah. Di saat itulah kemudian Asybah mulai cerewet bercerita. Ia adalah orang
keempat yang bisa Ia bercerita dengan cerewet setelah kedua orang tua dan
saudarinya. Tak lama kemudian, menyusul Nahla dan ikut masuk ke dalam topik
pembicaraan saudari dan tunangannya itu.
Teeet... Teeet... Teeet
Bel masuk berbunyi. Maka pembicaraan
haruslah diputus karena waktu. Tiba-tiba, setelah mendengar bel itu, Asybah
seakan terjatuh dalam memori ingatan masa dimana saat itu adalah awal dari
Fajar mengungkapkan rasa.
“Selamat istirahat, Asybah. Mmm
apa di bangku ini kosong? (menunjuk kursi di samping kursi Asybah)”
“Iya, kosong. Nahla sedang
keluar bersama teman-temannya yang lain.”
“Kenapa kamu tidak ikut?
Ditinggalkah? Ngomong-ngomong, apa aku boleh duduk disini?”.
Asybah
tidak menjawab, tidak tersenyum, namun tertunduk mengalihkan pandangan. Fajar
mengerti bahwa itu artinya Asybah menolak. Sejak saat itulah setiap kali Fajar
ingin bicara dengan Asybah, Ia akan langsung duduk di depan kursi Asybah. Selepas
itu, Fajar mulai berkata dengan wajah yang tulus. Seakan menyatakan cerita
seperti curahan hati namun berhujung pada penawaran untuk saling mengisi hati.
“Begini, Sya. Dosenku
menyarankan aku untuk mulai mencari pasangan. Bukan dalam artian pacaran, Sya.
Tapi lebih dari itu. Sejalan dengan berkomitmen untuk saling menjaga hati. Agar
nantinya mudah untuk menjalankan kehidupan rumah tangga.”.
Katanya
dengan nada rendah sambil terus bermain pulpen di tangannya.
“Oowhmm ya kalau begitu bagus.
Menurutku, pasangan itu lebih dari sekedar hubungan ataupun status. Melainkan
teman hati untuk dijadikan pendamping hidup suatu saat nanti. Ini dalam pandanganku
sih.”
“Iya,, kamu benar. Dari yang
aku setelah aku lama memperhatikan kepribadianmu, caramu berpendapat dan caramu
memberikan pandangan, aku ingin memilihmu untuk menjadi pasangan hidupku. Jika
berkenan, aku ingin kita bisa saling mengisi hati. Aku menyampaikan perasaan
ini, karena aku tidak ingin salah pilih. Itupun jika masih belum ada yang
mengisi hatimu. Karena aku tahu, aku tak berhak untuk memaksamu menerima
cintaku. Bagaimana jawabanmu, Sya?” .
Melalui cara menyampaikannya, Asybah
tertegun. Apa yang dirasakannya seakan mulai menjadi nyata. Memang ini adalah
hal yang ditunggu oleh Asybah. Namun, Ia sadar bahwa Ia adalah wanita yang tak
mungkin untuk memulai duluan, malu alasannya jika ditanyakan.
“Waktu itu aku menerimanya”. Asybah menutup mata sambil tersenyum lembut
mengingat masa-masa itu.
“Baik, Mbak Asybah. Apa masih
mengantuk?”
Tanya
Dra. Aliya selaku dosen Sastra Indonesia. Pertanyaan itu mengagetkan Asybah
yang sedang melayang pikirannya mengingat masa lalu. Bel itu membuat Ia terlena
untuk mengikuti mata kuliah Dra. Aliya
“Maaf, Bu. Saya menyiakan ilmu
untuk pikiran pribadi dalam waktu yang tidak tepat.”
Mendengar kata maaf yang dirangkum sedemikian
elok, Bu Aliya sedikit terharu. Namun apalah arti kata itu? Tak sesuai dengan
sifat keras Bu Aliya. All hasil,
tertolaklah permintaan maaf itu. Asybah harus menemui Bu Aliya di ruangnya
sepulang kuliah. Ia diberi tugas dan esok juga harus sudah berada di meja Bu
Aliya.
“Kamu akan saya beri sanksi.
Sepulang kuliah nanti, temui saya di ruang kerja saya. Ambil satu lembar tugas
dan kumpulkan besok pagi di meja saya. Jika kamu ingin mengikuti wisuda!”
Itulah yang dikatakan Bu Aliya. Asybah
meng-iya-kan perintah tersebut sambil membungkukkan badan sedikit sebagai tanda
hormat. Buka main takutnya. Nahla menggelengkan kepala mengetahui saudarinya
merenung lama saat mata kuliah berlangsung.Tampaknya hal yang
melambungkan memori ingatan Asybah tentang awal bersatunya ia bersama Fajar
telah membuatnya mendapat satu hukuman dari dosen mata kuliah kesukaannya.
Benar-benar, salah tempat merenung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar